free web hit counter
Jatim Times Network Logo
Poling Pilkada 2024 Agama Ekonomi Gaya Hukum dan Kriminalitas Kesehatan Kuliner Olahraga Opini Otomotif Pemerintahan Pendidikan Peristiwa Politik Profil Ruang Mahasiswa Ruang Sastra Selebriti Tekno Transportasi Wisata
Serba Serbi

Lodoyo–Blitar Selatan: Jejak Terlupakan Tragedi Trunajaya dan Cakraningrat II

Penulis : Aunur Rofiq - Editor : A Yahya

10 - Oct - 2025, 14:32

Placeholder
Lukisan realis: Trunajaya di tengah kabut pertempuran Jawa Timur, 1676. Dengan panji Madura berkibar dan pasukan Makassar di sisinya, ia menantang kekuasaan Mataram dan VOC. Awal dari tragedi besar yang mengubah sejarah Jawa. (Foto: created by JatimTIMES)

JATIMTIMES - Sejarah Jawa abad ke-17 tidak pernah lepas dari kisah pergulatan antara raja Mataram, elit bangsawan, dan pemberontakan rakyat. Dari sekian banyak pemberontakan yang mengguncang tahta Amangkurat I dan penerusnya, Amangkurat II, Perang Trunajaya (1674–1680) menempati posisi paling dramatis. Pemberontakan ini melibatkan jaringan bangsawan Madura, pasukan Makassar yang tercerai-berai pasca kejatuhan Gowa, serta kelompok-kelompok santri dan petani Jawa yang muak pada tirani Mataram. Namun, di balik gemuruh perang besar itu, ada sebuah episode kecil tapi menentukan: kisah Lodoyo–Blitar Selatan, tempat pembuangan Cakraningrat II oleh keponakannya sendiri, Trunajaya. Dari titik inilah, sejarah berbalik arah, hingga berujung pada tragedi berdarah di Gunung Antang.

Tulisan ini berusaha menelusuri kembali kisah tersebut, bersandar pada Babad Tanah Jawi sebagai sumber primer utama, sekaligus membandingkannya dengan catatan sejarah lain. Perspektif historiografi kritis perlu digunakan, sebab babad Jawa kerap menghadirkan campuran antara fakta politik dan simbolisme spiritual. Justru di situlah terletak makna terdalam dari tragedi Trunajaya: sebuah drama politik yang berlapis dendam, ikatan keluarga, serta simbol kekuasaan Jawa abad ke-17.

Nasab Raden Trunajaya: Dari Panembahan Lemah Duwur ke Cakraningrat

Baca Juga : Gerakan Wakaf Uang Surabaya Catat Rekor Tertinggi, Pemkot  Raih Penghargaan Agregator

Pemberontakan besar yang dipimpin Raden Trunajaya antara tahun 1674 hingga 1680 tidak dapat dilepaskan dari akar genealogisnya yang kuat. Ia bukan sekadar bangsawan Madura biasa, melainkan pewaris sah garis penguasa Islam awal Madura Barat, yang menurunkan darah Majapahit dan Dinasti Cakraningrat melalui jalur Panembahan Lemah Duwur, raja maritim Arosbaya pada akhir abad ke-16 hingga awal abad ke-17.

Panembahan Lemah Duwur sendiri merupakan cucu dari Kiai Demang Plakaran, tokoh pelopor Kerajaan Arosbaya yang menurunkan dua warisan penting bagi sejarah Madura: tradisi politik maritim dan jaringan spiritual Islam. Dari Demang Plakaran lahir Kiai Pragalba atau Pangeran Arosbaya, dan dari garis inilah muncul Raden Pratanu yang kemudian bergelar Panembahan Lemah Duwur. Ia memindahkan pusat pemerintahan ke bukit Arosbaya (lemah duwur berarti “tanah tinggi”), memperkuat armada maritim, sekaligus menjadikan Madura Barat simpul penting dalam penyebaran Islam di Jawa Timur.

Namun akar genealogis Trunajaya menjulur lebih jauh ke belakang, hingga ke Prabu Brawijaya V, raja Majapahit yang membuka pintu penyebaran agama Islam. Tradisi silsilah menyebutkan bahwa salah satu putra Brawijaya, Arya Damar, diangkat menjadi Adipati Palembang dan menjadi pionir Islamisasi di wilayah Sumatra Selatan dan pesisir Jawa. Dari Arya Damar lahir Arya Menak Sunaya, yang kemudian bermigrasi ke Madura dan menurunkan aristokrasi Islam pertama di sana.

Dari Arya Menak Sunaya berturut-turut lahir Arya Timbul, Arya Kedot, dan Arya Pojok di Sampang. Garis ini diteruskan oleh Kiai Demang Plakaran, pendiri Arosbaya, hingga Panembahan Lemah Duwur. Panembahan ini memperkuat hubungan genealogis dan politik Madura dengan pusat-pusat kekuasaan Islam di Jawa, bahkan menjalin aliansi melalui perkawinan dengan keluarga Sultan Hadiwijaya (Jaka Tingkir) dari Pajang. Dari perkawinan ini lahirlah generasi penerus yang menghubungkan Madura, Pajang, dan kemudian Mataram.

Lemah Duwur

Dari Panembahan Lemah Duwur lahirlah Pangeran Tengah, yang memerintah Arosbaya hingga 1624. Pada tahun itu, ekspedisi besar Sultan Agung Mataram menaklukkan Madura, menghancurkan Arosbaya, dan membunuh hampir seluruh bangsawan lokal. Namun seorang putra Pangeran Tengah, Raden Prasena, selamat dan dibawa ke Mataram. Di sana, ia dinikahkan dengan putri Sultan Agung dan diberi gelar Pangeran Cakraningrat I, sekaligus diangkat menjadi adipati Madura.

Dari Cakraningrat I lahir Raden Demang Malayakusuma, yang kemudian menikah dengan bangsawan Madura dan menurunkan Raden Trunajaya. Dengan demikian, Trunajaya adalah cicit Panembahan Lemah Duwur, raja maritim Arosbaya, dan cucu dari dinasti Cakraningrat yang ditundukkan Mataram namun tetap diberi legitimasi feodal.

Nasab ini menjelaskan dua hal penting. Pertama, Trunajaya mewarisi darah kerajaan pesisir Madura yang sejak awal bersifat independen, bercorak maritim, dan bercita-cita besar menandingi kekuasaan Jawa pedalaman. Kedua, melalui Cakraningrat, ia juga terhubung langsung dengan jaringan aristokrasi Mataram, bahkan memperkuat posisinya dengan menikahi putri Mataram, saudari Amangkurat II, sehingga secara formal ia menjadi menantu keluarga raja.

Namun darah dan pernikahan tidak meredam bara dendam. Sejak kecil Trunajaya tumbuh dalam bayang-bayang kehancuran leluhurnya oleh ekspedisi Sultan Agung. Ayahnya, Raden Malayakusuma, gugur dalam kerusuhan internal keraton pada masa Pangeran Alit. Trauma itu diwarisi Trunajaya sebagai luka genealogis yang menyalakan ambisinya untuk menantang dominasi Mataram.

Dalam Babad Tanah Jawi diceritakan bahwa mula-mula Cakraningrat II, Adipati Sampang, mendukung gerakan keponakannya, Trunajaya. Hubungan darah antara paman dan keponakan ini pada awalnya menjadi fondasi kuat bagi perlawanan Trunajaya terhadap dominasi Mataram. Namun, hubungan itu retak ketika Trunajaya menunjukkan ambisi yang semakin besar: bukan saja menantang Amangkurat I, tetapi juga hendak merebut kedudukan raja Jawa. Dalam salah satu kisah, Trunajaya bahkan memerintahkan agar pamannya sendiri, Cakraningrat II, dibuang ke hutan Lodoyo di Blitar Selatan untuk dimangsa binatang buas. Takdir berkata lain. Alih-alih mati, Cakraningrat II selamat dan peristiwa itu menandai putusnya aliansi keluarga Madura tersebut. Dari titik inilah Cakraningrat II justru berbalik arah dan memainkan peranan penting dalam jaringan politik yang bertentangan dengan Trunajaya.

Cakraningrat II adalah sosok bangsawan Madura yang memiliki latar belakang politik luas dan posisi strategis dalam percaturan Jawa abad ke-17. Ia memerintah Madura Barat beserta sebagian pesisir utara Jawa Timur dalam kurun waktu panjang, sejak 1647 hingga 1707. Sebelum naik tahta, ia dikenal dengan nama Raden Undagan atau Pangeran Sampang. Pengangkatannya terjadi setelah ayahnya, Cakraningrat I (Raden Prasena), gugur bersama putra sulungnya, Raden Demang Malayakusuma, pada tahun 1647 di alun-alun Plered ketika berusaha menumpas pemberontakan Pangeran Alit. Seusai tragedi itu, Mataram menunjuk Raden Undagan sebagai pengganti dengan gelar Cakraningrat II.

Kedudukannya sebagai Adipati Madura Barat sangat strategis. Selain memiliki basis prajurit dan armada laut yang kuat, ia juga menjalin hubungan erat dengan penguasa-penguasa Surabaya. Dukungan ini diperkuat melalui ikatan pernikahan politik: Cakraningrat II menjadi mertua sekaligus kakek dari garis keluarga Jangrana I dan Jangrana II, dua tokoh penting Surabaya yang kelak berperan besar dalam perebutan pengaruh di Jawa Timur.

Namun, perjalanan politik Cakraningrat II tidaklah mulus. Pada masa pemberontakan Trunajaya (1674–1679), ia digulingkan dari tampuk kekuasaan oleh keponakannya sendiri, Trunajaya. Kendati demikian, setelah pemberontakan itu dipadamkan melalui gabungan kekuatan Mataram dan VOC, kedudukannya dipulihkan dan ia kembali memerintah Madura Barat hingga wafat pada 1707.

Cakraningrat II adalah putra kedua dari Cakraningrat I, penguasa pertama Madura Barat yang diangkat sebagai vasal oleh Sultan Agung pada pertengahan abad ke-17. Cakraningrat I, yang bernama asli Raden Prasena, mula-mula dikawinkan dengan adik Sultan Agung untuk mempererat hubungan antara Mataram dan Madura. Selain itu, ia juga menikah dengan seorang putri Sunan Giri yang bergelar Ratu Ibu atau Nyi Ageng Sawu. Dari pernikahan dengan Ratu Ibu inilah lahir beberapa keturunan penting: Raden Ario Admodjonegoro, Raden Undagan (kelak Cakraningrat II), dan Ratu Martopati.

Namun, Cakraningrat I juga memiliki sejumlah anak dari selir. Dari jalur inilah lahir figur-figur samping, termasuk Raden Demang Molojo (atau Raden Demang Malaya Kusuma). Tokoh inilah yang menjadi ayah dari Trunajaya. Dengan demikian, Trunajaya adalah cucu Cakraningrat I dari garis selir.

Trunajaya lahir di Desa Pababaran (kini dikenal sebagai Desa Babaran) di wilayah Sampang, Madura. Nama desa itu sendiri mengandung makna “melahirkan”, seolah menandai kelahiran tokoh yang kelak mengguncang tatanan politik Jawa. Ibunya berasal dari keturunan Jokotole, tokoh legendaris Madura. Akan tetapi, nasib keluarga tidak selalu berpihak padanya. Saat Trunajaya baru berusia tujuh tahun, ayahnya wafat di istana Mataram. Sejak itu ia tumbuh sebagai seorang jaka yang mandiri, kerap bertapa di gunung dan gua untuk menempah kekuatan spiritual.

Ketika dewasa, Trunajaya diperistri­kan dengan putri Raden Kajoran, seorang ulama sekaligus bangsawan berpengaruh di lereng Gunung Merapi. Melalui hubungan pernikahan itu, Trunajaya bukan hanya memperoleh pendidikan agama Islam dari mertuanya, tetapi juga akses pada jaringan politik dan militer Kajoran. Di bawah asuhan dan bimbingannya, Trunajaya mendapat ruang untuk menapaki karier spiritual sekaligus politik, hingga terbentuk pribadi yang kuat, bercita-cita besar, dan penuh ambisi. Meskipun pernikahannya dengan putri Raden Kajoran kemudian berujung pada perceraian, hubungan keduanya tetap dekat hingga akhir hayat sang ulama, yang akhirnya dihukum mati oleh Amangkurat II pada 14 September 1679.

Di sinilah terjalin lingkaran genealogis dan politik yang rumit: Trunajaya adalah cucu Cakraningrat I dari garis samping, sedangkan Cakraningrat II adalah paman sekaligus pewaris tahta resmi Madura Barat. Awalnya keduanya bisa bersatu melawan Mataram, tetapi perbedaan ambisi akhirnya memisahkan mereka.

Dengan jejaring darah bangsawan, pernikahan politik yang luas, dan warisan dendam kolektif keluarga Madura terhadap Mataram, Trunajaya membangkitkan pemberontakan besar pada 1674. Pemberontakan ini bukan hanya diarahkan kepada Amangkurat I dan II, melainkan juga menantang dominasi VOC. Dari situlah lahir preseden penting dalam sejarah Jawa Timur: untuk pertama kalinya sebuah kekuatan lokal berhasil membuktikan bahwa kongsi dagang Belanda yang bersenjata modern itu bisa dilawan di medan perang.

Trunajaya

Lodoyo: Hutan Pembuangan yang Menjadi Titik Balik

Kisah Cakraningrat II di Lodoyo merupakan titik balik dalam sejarah Perang Trunajaya. Setelah bertahan hidup dari pembuangan, Cakraningrat II mendengar kabar bahwa pasukan Trunajaya mulai terdesak oleh Amangkurat II yang baru naik tahta dengan bantuan pasukan VOC. Dari Lodoyo, ia memutuskan keluar, membawa serta keluarga dan pengikutnya untuk sowan ke raja baru Mataram. Perjalanan itu menandai pembelotan yang menentukan.

Pertemuan Cakraningrat II dengan Tumenggung Jangrana mempertegas arah politiknya. Ia kemudian menghadap Amangkurat II dengan penuh tangis dan permohonan maaf. Sang raja menerimanya kembali, bahkan mengembalikan kekuasaan atas Sampang kepadanya. Lebih dari itu, Amangkurat II memberi tugas yang jauh lebih penting: membujuk Trunajaya agar menyerah. Inilah awal dari pengkhianatan seorang paman terhadap keponakannya sendiri.

Amangkurat II

Trunajaya di Gunung Ngantang: Dilema Seorang Pemberontak

Pada saat yang sama, Trunajaya bertahan di Gunung Ngantang, Kabupaten Malang. Ia ditemani dua istrinya, Raden Ayu Kleting Ungu dan Raden Ayu Kleting Kuning, keduanya putri Mataram yang diserahkan kepadanya ketika ia masih berada di puncak kejayaan. Namun suasana rumah tangga itu diliputi duka. Kleting Kuning menolak dimadu dan lebih memilih mati. Ia menanggung penderitaan selama empat puluh hari tanpa makan dan minum. Tangisan, keluhan, dan kutukan mengisi gua persembunyian di lereng Ngantang.

Menurut Babad Tanah Jawi, Kleting Ungu disebut sebagai adik Prabu Amangkurat. Berdasarkan penelusuran penulis, sosok yang dimaksud kemungkinan besar merujuk pada Amangkurat II. Pada awal dekade 1670-an, Trunajaya memang memiliki hubungan yang cukup dekat dengan Pangeran Adipati Anom, yang kelak naik takhta dengan gelar Amangkurat II.

Hubungan lama itulah yang kelak membayang di tengah keterpurukan Trunajaya.Dalam situasi itu, Trunajaya menyadari kesalahannya. Ia mengaku pada istrinya bahwa ia hanyalah "orang kecil yang memaksa diri menjadi raja". Penyesalan itu membuatnya bimbang: apakah tetap bertahan, atau menyerah demi keselamatan keluarga? Kleting Ungu, istri pertamanya, membujuk agar mereka sowan ke Mataram. "Kakang Prabu tidak sampai hati membunuh Kakang Mas," katanya, meyakinkan bahwa hubungan darah akan melindungi nasib Trunajaya.

Baca Juga : Daftar 20 Negara Lolos ke Piala Dunia 2026, Indonesia Masih Punya Peluang Menyusul

Keyakinan itu semakin kuat ketika datang utusan Cakraningrat II membawa surat. Sang paman menjanjikan jaminan: jika Trunajaya dijatuhi hukuman mati, maka ia sendiri yang akan menanggung. Surat itu membuat hati Trunajaya lega. Ia merasa masih ada harapan hidup.

Truna jaya

Penyerahan yang Menjadi Pengkhianatan

Trunajaya pun turun dari Gunung Ngantang bersama sekitar tiga puluh pengikutnya. Senjata mereka sudah diletakkan, tanda tunduk dan ikhlas. Di kaki gunung, ia bertemu pamannya. Cakraningrat II memeluk lehernya, seolah menyambut dengan kasih keluarga. Namun itu hanyalah awal dari jebakan. Dengan isyarat, Cakraningrat II memerintahkan bala tentaranya mengikat Trunajaya dan ajudannya, Seca Gora, dengan kain cinde. Trunajaya pasrah, hanya berkata: "Paman, saya serahkan sesuai dengan keinginan Paman. Sebab semua adalah hasil kejahatan saya."

Dalam ikatan, ia digiring menuju pesanggrahan Amangkurat II. Di sepanjang jalan, pagar betis disusun oleh para bupati dan pasukan Kompeni. Dentuman meriam dan tabuhan gamelan menggema, seakan menyambut seorang pengantin. Namun di balik gegap gempita itu, wajah Trunajaya pucat pasi. Ia tahu, nasibnya tinggal menunggu waktu.

Trunojoyo

Eksekusi di Hadapan Raja

Setibanya di hadapan Amangkurat II, Trunajaya diperlakukan dengan penuh simbolisme. Raja mengingatkan kembali kaul yang pernah diucapkan: bahwa jika Mataram kembali aman, pemerintahan Jawa akan diserahkan kepada Trunajaya. Tiga kali tawaran itu diajukan, tiga kali pula Trunajaya menolak. Ia tetap memilih diam. Akhirnya, di bawah tekanan Pangeran Silarong, ia menerima simbolik penyerahan itu. Amangkurat II menegaskan bahwa seluruh bupati menjadi saksi.

Namun janji itu hanyalah retorika. Segera setelah itu, Amangkurat II menuntut pelunasan nadarnya: keris Kyai Belabar yang ia sumpah tidak akan diganti sarungnya sebelum ditancapkan di dada Trunajaya. Dengan gerakan tegas, sang raja menikam dada keponakannya. Darah memancar, tubuh roboh. Para bupati, mengikuti contoh, menghunjamkan keris masing-masing. Mayat Trunajaya tercabik-cabik.

Simbolisme kekuasaan dilanjutkan dengan tindakan mengerikan: hati Trunajaya dibagi-bagi, ditelan mentah-mentah oleh para bupati sebagai tanda sumpah setia pada raja. Kepala Trunajaya dipenggal, diletakkan di bawah dampar, bahkan dihancurkan di lumpang hingga lumat. Ritual kekuasaan Jawa mencapai puncak kekejaman sekaligus sakralitasnya.

Eksekusi trunajaya

Duka Kleting Ungu dan Politik Balas Dendam

Raden Ayu Kleting Ungu, istri Trunajaya, meraung menangis ketika mendengar suaminya dibunuh begitu kejam. Ia mengutuk Amangkurat II yang tak mengenal ampun, meski Trunajaya sudah bertobat. Namun tangisan itu tidak mengubah keadaan. Amangkurat II membujuknya dengan janji penghiburan. Ironi sejarah: perempuan bangsawan Mataram yang awalnya menjadi jaminan pernikahan politik, kini dijadikan alat konsolidasi kekuasaan setelah suaminya mati.

Raden Ayu

Historiografi: Antara Fakta dan Simbol

Kisah eksekusi Trunajaya dalam Babad Tanah Jawi sarat dengan detail dramatik: ikatan kain cinde, pagar betis, tabuhan gamelan, hingga pembagian hati. Bagi sejarawan modern, elemen-elemen ini mungkin sulit diverifikasi. Arsip VOC mencatat eksekusi Trunajaya di Kartasura pada 2 Januari 1680, tetapi tidak menyebut ritual-ritual mistis tersebut. Di sinilah letak perbedaan penting: bagi babad, kematian Trunajaya bukan sekadar eksekusi politik, melainkan ritual kosmis yang menegaskan kekuasaan raja Jawa atas tubuh dan jiwa pemberontaknya.

Cakraningrat II, dalam narasi ini, tampil sebagai tokoh pengkhianat. Dari pembuangan di Lodoyo, ia berubah menjadi tangan kanan Amangkurat II. Perannya menunjukkan rapuhnya ikatan keluarga bangsawan bila berhadapan dengan kalkulasi politik. Di sisi lain, peristiwa ini memperlihatkan bagaimana Mataram menggunakan simbolisme darah, kaul, dan keris pusaka untuk memulihkan kewibawaan setelah dihancurkan pemberontakan.

Amangkurat

Makna Politik dan Spiritual

Tragedi Trunajaya tidak bisa dilepaskan dari dinamika sosial-politik Jawa abad ke-17. Pemberontakan besar ini lahir bukan hanya dari ketidakpuasan rakyat terhadap tirani Mataram, tetapi juga dari kekecewaan bangsawan yang tersingkir, dendam lama Madura terhadap Mataram, serta semangat Islam pesisiran yang menghidupi gerakan perlawanan. Trunajaya sendiri membawa warisan politik panjang: ia adalah keturunan Kerajaan Arosbaya yang pernah ditaklukkan Sultan Agung pada 1624, pewaris trah Majapahit sekaligus cucu politik Kesultanan Pajang. Dari darahnya mengalir luka sejarah sekaligus legitimasi untuk menentang dominasi Mataram.

Dalam perjalanan hidupnya, Trunajaya sempat berusaha masuk lingkaran istana dengan mengabdi kepada Adipati Anom, putra mahkota Mataram. Namun jalannya dipotong oleh intrik politik dan penolakan elit istana. Rasa terbuang ini membuatnya memilih jalur oposisi. Titik balik datang ketika ia dinikahkan dengan putri Raden Kajoran, ulama karismatik dari lereng Merapi yang melihat dalam diri menantunya tanda-tanda “kresna”—takdir besar untuk mengguncang Jawa. Kajoran bukan hanya memberikan legitimasi spiritual, tetapi juga jaringan politik yang luas.

Sekitar tahun 1670, lahirlah sebuah perjanjian rahasia: Adipati Anom yang ingin menggulingkan kekuasaan ayahnya, Amangkurat I, menjalin persekutuan dengan Trunajaya. Dalam berbagai versi Babad dan arsip Belanda, Trunajaya dijanjikan wilayah Madura dan sebagian pesisir timur Jawa sebagai kompensasi, bahkan kedudukan sebagai Tumenggung. Sementara tugasnya jelas: menggalang kekuatan di Madura, mengguncang pesisir, dan pada saat yang genting menyerang pusat Mataram. Dengan kata lain, pemberontakan Trunajaya sejak awal bukanlah sekadar perlawanan rakyat, tetapi juga instrumen politik Adipati Anom untuk meruntuhkan takhta ayahnya.

Ketika pemberontakan meledak pada 1674, Trunajaya menjelma simbol perlawanan yang menggabungkan dendam sejarah, ideologi Islam, dan ambisi kekuasaan. Kota-kota pesisir jatuh ke tangannya, Surabaya tunduk, dan keraton Plered berhasil direbut. Amangkurat I jatuh dalam pelarian dan wafat pada 1677, sementara Adipati Anom naik takhta sebagai Amangkurat II. Namun, begitu duduk di singgasana, ia berbalik haluan: bersekutu dengan VOC dan mengkhianati sekutu lamanya.

Amangkurat I

Eksekusi Trunajaya pada Januari 1680 menjadi klimaks dari drama pengkhianatan ini. Di hadapan para bupati, Amangkurat II sendiri yang menikamnya dengan keris Kyai Balabar. Pesan politiknya jelas: raja adalah pusat kosmos, dan darah pemberontak harus ditumpahkan demi menegakkan wibawa. Tetapi tragedi itu juga membuka sisi kelam kekuasaan Jawa: janji keluarga, ikatan politik, bahkan pengampunan tidak berarti apa-apa ketika dendam sudah berurat akar.

Dengan demikian, pemberontakan Trunajaya adalah cermin paradoks sejarah Jawa abad ke-17: gerakan rakyat yang lahir dari luka kolektif, tetapi sekaligus alat intrik dinasti. Ia tumbuh dari penolakan dan keterbuangan, diperkuat oleh jaringan ulama Kajoran, didorong oleh ambisi Adipati Anom, dan berakhir dalam pengkhianatan paling tragis. Namun, dari darah dan kematiannya, lahirlah legenda yang membuat namanya abadi sebagai martir perlawanan terhadap tirani.

Tragedi Lodoyo: Ketika Janji dan Darah Menghantarkan Trunajaya ke Akhir Takdirnya

Kisah Lodoyo–Blitar Selatan memberi kita perspektif berbeda tentang Perang Trunajaya. Bukan hanya peperangan besar antara pasukan Mataram, Madura, Makassar, dan VOC, tetapi juga drama keluarga yang sarat pengkhianatan. Cakraningrat II, yang semula nyaris mati di hutan Lodaya, justru menjadi perantara yang menggiring keponakannya menuju maut. Amangkurat II, yang pernah berjanji menyerahkan Jawa kepada Trunajaya, justru menuntaskan dendam dengan keris pusakanya.

Lodoyo

Sejarah tidak selalu ditentukan oleh medan perang yang luas, tetapi juga oleh hutan-hutan terpencil seperti Lo Daya di Blitar Selatan, tempat takdir Cakraningrat II berbalik. Dari titik itu, mengalir tragedi besar yang mengakhiri hidup seorang pemberontak Madura, Trunajaya. Sebuah tragedi yang terus hidup dalam babad Jawa sebagai peringatan tentang rapuhnya janji kekuasaan dan getirnya pengkhianatan keluarga.


Topik

Serba Serbi Mataram perang trunajaya perang jawa



JatimTimes Media Terverifikasi Dewan Pers

UPDATE BERITA JATIM TIMES NETWORK

Indonesia Online. Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari JatimTIMES.com dengan klik Langganan Google News Jatimtimes atau bisa menginstall aplikasi Trenggalek Times News melalui Tombol Berikut :


Penulis

Aunur Rofiq

Editor

A Yahya