free web hit counter
Jatim Times Network Logo
Poling Pilkada 2024 Agama Ekonomi Gaya Hukum dan Kriminalitas Kesehatan Kuliner Olahraga Opini Otomotif Pemerintahan Pendidikan Peristiwa Politik Profil Ruang Mahasiswa Ruang Sastra Selebriti Tekno Transportasi Wisata
Pendidikan

Kisah Sufi Roti, Permata, dan Ironi Takdir

Penulis : Anggara Sudiongko - Editor : A Yahya

29 - Oct - 2025, 09:56

Placeholder
Ilustrasi tukang roti yang memberikan roti pada orang baik dan orang yang berkelakuan buruk (ist)

JATIMTIMES - Konon, di tanah Afghanistan Barat, di dekat makam sufi besar Khakja Abdullah Ansar, tersimpan kisah yang menyelipkan hikmah lebih tajam dari sebilah pisau. Idries Shah, dalam Tales of the Dervishes, menuturkannya dengan judul sederhana: Roti dan Permata. Tapi di balik kesederhanaan itu, tersimpan pelajaran tentang hati manusia, keserakahan, dan ironi takdir.

Dikisahkan, seorang raja yang tengah merenungi makna kedermawanan memutuskan untuk menguji niat baiknya sendiri. Ia ingin memberi sebagian hartanya kepada orang lain, tanpa pamrih, tanpa ingin tahu siapa penerimanya. Namun, rasa ingin tahu sebagai manusia menyalakan satu percikan penasaran di dadanya: apa jadinya dengan pemberianku nanti?

Baca Juga : Sekjen Kemenag Apresiasi Gerakan Wakaf PTKI UIN Malang: Inovasi Derma yang Patut Jadi Teladan Nasional

Raja itu lalu memanggil tukang roti kepercayaannya. “Buatlah dua roti,” perintahnya. “Satu isi permata, satu lagi hanya dari tepung dan air.” Kedua roti itu, katanya, harus diberikan kepada dua orang: satu yang paling saleh, dan satu lagi yang paling buruk perangainya yang dijumpai si tukang roti.

Keesokan harinya, dua lelaki datang ke dapur. Yang pertama tampak seperti darwis, berjubah lusuh, berwajah tenang, penuh aura kesalehan palsu. Yang satunya, seorang lelaki sederhana dengan wajah yang, entah mengapa, membuat tukang roti itu merasa tak suka. Tanpa berpikir panjang, ia menyerahkan roti berisi permata kepada si darwis, dan roti biasa kepada lelaki yang tampak rendah hati itu.

Namun takdir, seperti biasa, tak tunduk pada penilaian manusia. Darwis palsu itu menimbang roti di tangannya, merasa ada sesuatu yang berat di dalamnya. Tapi karena curiga dan angkuh, ia menyangka roti itu sekadar bantat. Ia menatap tukang roti dengan dingin, lalu menoleh pada lelaki di sebelahnya. “Kau tampak lapar,” katanya sok dermawan. “Mari kita bertukar roti. Rotiku lebih besar.”

Lelaki itu tersenyum, menerima tanpa banyak kata. Ia ikhlas. Dari balik celah pintu dapur, sang raja menyaksikan semuanya. Ia terdiam, tak sepenuhnya memahami permainan nasib di depan matanya. Yang pura-pura saleh justru kehilangan harta, yang tulus justru mendapat keberuntungan.

Baca Juga : Pemkab Malang dan Baznas Berikan Bantuan kepada Siswa-Guru MTs Al-Khilafah setelah Alami Keracunan

“Takdir punya cara sendiri menjaga manusia dari godaan,” ujar sang raja perlahan, mencoba menenangkan pikirannya. Tukang roti pun menunduk, berkata lirih, “Saya hanya menjalankan perintah.”

Dan di sudut dapur, darwis palsu itu tersenyum congkak, menganggap dirinya cerdas karena telah menukar roti. Idries Shah menutup kisah ini dengan pengingat tajam: manusia kerap diberi sesuatu yang berharga bagi masa depannya, tapi tidak selalu tahu cara mempergunakannya. Kadang, permata itu justru terbuang begitu saja, karena kita terlalu sibuk menimbang berat roti, bukan isinya.


Topik

Pendidikan sufi kisah sufi khakja abdullah ansar



JatimTimes Media Terverifikasi Dewan Pers

UPDATE BERITA JATIM TIMES NETWORK

Indonesia Online. Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari JatimTIMES.com dengan klik Langganan Google News Jatimtimes atau bisa menginstall aplikasi Trenggalek Times News melalui Tombol Berikut :


Penulis

Anggara Sudiongko

Editor

A Yahya

Pendidikan

Artikel terkait di Pendidikan